Diambil dari : Website Harian Umum “Sinar Indonesia Baru” (SIB); http://hariansib.com

Posted Tgl : 12 Oktober 2008

Ada hal yang cukup mengejutkan plus agak spektakuler dari pernyataan seorang Haji Syamsul Arifin SE, Gubernur Sumut, ketika menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Gereja-gereja Foursquare Asia Pasific (Eastern Counsil Foursquare Churches-ECFC) di gedung gereja GPdI Maranatha Medan, Selasa 7 Oktober lalu. Katanya, tunjukkan bahwa tanda-tanda surga ada di Sumut…, di hadapan ratusan peserta dan delegasi gereja dari 30 negara, plus ratusan umat Nasrani di daerah ini.
Ungkapan Gubsu itu langsung menghentak penulis dan teringat akan pernyataan seorang tokoh budayawan dan wisata dari Jawa, Ninuk Kleden, yang pada 1980-an silam mengungkapkan bahwa ‘Sumatera Utara adalah Surga di Tanah Batak yang Tiada Tara’. Pernyataan itu secara khusus di Sumut terungkap dan terlontar pada Mei 1983 lalu saat berlangsung pembukaan Festival Film Indonesia (FFI), yang ketika itu memang Kota Medan tuan rumahnya.
Sebelumnya, Pangeran Bernard dari Belanda ketika melancong ke Danau Toba (Parapat dan Samosir) pada 1995 lalu bersama Gubsu Raja Inal Siregar (alm) dan Bupati Simalungun Drs Djabanten Damanik serta Ketua Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba (YPPDT) Pusat Dr Midian Sirait plus pengurus YPPDT Sumut Vera Situmorang, juga sempat mencetuskan… ‘berkunjung ke Danau Toba seakan berada di
Taman Eden’. (Taman Eden adalah salah satu simbol surgawi-Red). Kalimat itu dilontarkan, persis dari jembatan Sibaganding ketika menatap hamparan air Danau Toba seusai mengunjungi taman monyet yang dikelola Umar Manik cs di seberang danau itu.

Lalu, belakangan, ketika berlangsung konferensi Dewan Gereja Asia (Churches Conference of Asia–CCA) di tiga kota di Sumut (Medan, Pematang Siantar, Parapat) tahun lalu, juga muncul wacana dan opini kolektif para peserta dari berbagai negara, bahwa Danau Toba atau Parapat tak ubahnya seperti bagian dari surga (part of heaven). Cetusan itu antara lain diungkapkan Pendeta John Maung Low dari
Korea, ketika ikut menanam bibit pohon dalam acara ‘Seribu Pohon di Taman CCA’ di kawasan Bukit Sibaganding. Pendapatnya ketika itu disaksikan Ir Washington Tambunan (Kepala Dinas Pertambangan & Energi Sumut) dan Ir JB Siringo-ringo (Kepala Dinas Kehutanan Sumut) selaku panitia pembangunan Taman CCA. Namun, sayang, realisasi pembangunan Taman CCA itu hingga kini belum tampak).
“Sangat banyak pendapat dan ungkapan publik dari dalam dan luar negeri yang menggambarkan Sumut adalah salah satu ‘surga wisata’ di Indonesia, walaupun selama ini masih terbatas pada kata dan rasa. Namun, bukan mustahil, kalau kelak secara realita nikmat surgawi dalam berwisata ke Sumut akan terwujud. Masalahnya sekarang adalah belum terpadunya potensi objek (alam, budaya, dsb) dengan atensi subjek (pemerintah, masyarakat, dsb)-nya,” ujar Ir Sanusi Surbakti MBA, seorang pengusaha dan pemerhati wisata rohani dan Retreat Center Sibolangit, kepada SIB, baru-baru ini.
Objek Wisata Rohani
Bicara soal wisata rohani, setidaknya ada empat objek yang kini telah bersifat permanen dan reguler sebagai daerah tujuan wisata rohani di Sumut, yaitu:
Retreat Center yang dulunya dikenal dengan nama Taman Jubileum 100 Tahun GBKP di Sukamakmur Kec. Sibolangit Kab. Deli Serdang, Taman Wisata Iman (TWI) di Sitinjo Kabupaten Dairi, Kompleks Salib Kasih di Tarutung Kab. Tapanuli Utara, dan Kompleks Benteng Fansyur di Barus, Kab. Tapanuli Tengah.
Sejumlah objek lainnya ada juga yang berfungsi atau difungsikan sebagai objek wisata rohani secara temporer, yaitu Istana Maimun di Kota Medan, Mesjid Raya Medan, Taman Bukit Kubu di Berastagi, Bukit Simarjarunjung di Simalungun, dan beberapa kawasan di Pulau Nias yang sering menjadi pilihan para missionaris asing.
Dari kalangan lokal, para pelancong dari kalangan Nasrani pada umumnya memilih objek wisata rohani Salib Kasih Tarutung, Retreat Center Sibolangit, dan kawasan di Pulau Nias. Sedangkan objek wisata rohani TWI di Dairi ramai dikunjungi pelancong lintas agama karena terbuka untuk semua kaum. Soalnya, TWI dikemas secara khusus oleh Bupati Dairi Dr MP Tumanggor sebagai objek wisata iman yang representatif bagi kalangan umat Muslim, Buddha, Hindu, Katolik dan Protestan. Hal ini antara lain tampak nyata dari bangunan miniatur rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, kuil, mesjid, pagoda, dsb.
Kalangan pelancong Muslim, khususnya untuk berbagai acara dan kegiatan seremonial dan dakwa publik, biasanya memilih objek Istana Maimun. Sedangkan Mesjid Raya Medan lebih banyak dikunjungi para wisatawan asing (dari berbagai agama) karena merupakan objek wisata City Tour dengan orientasi objek bangunan bersejarah. Demikian juga Bukit Kubu dan Bukit Simarjarunjung, pada umumnya terbuka atau dipilih oleh pengunjung lintas agama karena berupa objek terbuka. Bisa dijadikan objek wisata rohani untuk kaum agama mana saja.
Semua profil wisata rohani dengan berbagai spesifikasinya itu, secara potensi memang sudah menunjukkan betapa daerah ini, Sumatera Utara dengan primadona wisata Danau Tobanya, jauh-jauh hari ternyata sudah menjadi bagian dan pilihan untuk wisata rohani. Maka tak heran, kalau Ninuk Kleden bilang daerah ini adalah ‘Surga Nan Tiada Tara’, dan Gubsu H Syamsul Arifin juga bilang ‘ada tanda-tanda surga di Sumut’, atau Pangeran Bernard dari Belanda bilang Danau Toba (di Sumut) adalah ‘seperti Taman Eden’.
“Banyak spesifikasi wisata yang sebenarnya bisa dijadikan paket wisata produktif di Sumut ini. Objek-objek wisata rohani yang dikemas secara kreasi sebenarnya bisa mengimbangi objek-objek wisata alam yang sudah terkemas secara alami. Kalau sepertiga saja jumlah kabupaten di Sumut ini bisa menghidupkan objek-objek wisata rohaninya berdasarkan potensi yang ada, daerah ini akan jadi salah satu pilihan wisata rohani kelas dunia di luar Pulau Jawa,” ungkap Sanusi Surbakti, sehari-hari Ketua DPP Ikatan Nasional Konsultan
Indonesia (Inkindo) Sumut.
Potensi temporer yang juga telah menunjukkan besarnya fungsi destinasi Sumut sebagai kandidat atau profil objek wisata rohani kelas dunia, antara lain adalah agenda para peserta berbagai acara dari mancanegara yang melancong ke Danau Toba seusai kegiatan resminya. Misalnya, ribuan peserta CCA dari 60-an negara tahun lalu yang menikmati wisata Parapat dan Samosir seusai acara inti CCA di Medan dan Pematang Siantar. Sejumlah peserta NRG4SD yang terpancar berkunjung ke Salib Kasih Tarutung setelah mengunjungi Parapat pada 2006 lalu. Plus juga tersiar kabar peserta konferensi gereja Asia Pasifik ECFC yang akan melancong ke Parapat dan Berastagi.
‘Mimpi’ Kelas Dunia
Sumut sebagai pilihan destinasi wisata alam dan wisata budaya, sejak dulu memang sudah populer, namun relatif belum justru belum menghasilkan suatu profil standar sebagai objek wisata reguler. Pasalnya cuma satu, hanya karena jumlah pengunjung atau pelancongnya, khususnya dari kalangan turis asing atau wisatawan mancanegara (Wisman) belum pernah mencapai angka minimal berdasarkan rasio dasar. Soalnya, jumlah turis mancanegara ke Sumut yang hingga kini masih terus di bawah angka 300.000 orang (kecuali pada 1995 lalu), masih jauh di bawah standar perolehan minimal atas potensi 10 destinasi andalan di antara 400-an objek wisata dengan 6.000-an lebih kamar hotel akomodasi resor maupun bisnis di daerah ini.
Sehingga, memang banyak kalangan menilai… upaya menjadikan Sumut objek wisata rohani kelas dunia, baik untuk skala nasional di luar Jawa, maupun objek skala regional di Asia Tenggara, agaknya hanya mimpi… Namun, agaknya lebih banyak pihak yang terkesan pesimis dan lupa akan filosofi dari mimpi, yaitu, bisa saja berupa impian semata atau angan-angan belaka, tapi tentu bisa juga menjadi nyata…
Paling tidak, menurut konsultan pariwisata di Sumut Ir Jonathan Ikuten Tarigan yang juga seorang rohaniawan senior (pertua–Pt) dari Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), menjadikan Sumut sebagai objek wisata rohani kelas dunia sama sekali tak mustahil. Itu berarti, wacana yang timbul sejak dulu ataupun baru-baru ini, bukan semata-mata presentasi dari sebuah mimpi, melainkan memang realita yang tertunggu karena suatu potensi yang
baku.
“Saya pernah baca, di SIB juga, ketika perayaan Natal Oikumene Nias Pasca Tsunami pada Desember 2005 lalu yang dihadiri Presiden RI SBY dan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao, tokoh politik dan tokoh gereja HKBP di Jakarta Dr Muchtar Pakpahan juga pernah bilang Sumut dengan spesifikasi Nias dan Danau Toba-nya, merupakan objek pilihan wisata rohani kelas dunia. Itu bukan mengada-ngada… Kedatangan tim missionaris Deningger (dari Belanda atau Jerman…?) ke Nias sebelum agama Kristen berkembang di Nias pada 1930-an silam, dan perjalanan musafirat penyebar agama Islam di Barus (Tapteng), sudah menunjukkan Sumut sebagai potensi dan destinasi wisata rohani. Artinya, para pelancong atau pendatang dengan tujuan rohani sudah lebih dulu muncul daripada para pelancong pesiaran,” paparnya sembari menyebutkan profil wisata secara umum di Sumut mulai terasa justru pada tahun 1960-an.
Dengan prediksi Sumut dijadikan tuan rumah acara religi internasional rata-rata tiga kali setahun, misalnya seperti acara CCA, ECFC, atau misalnya semacam MTQ tingkat Asean dsb, Jonathan menyebutkan Sumut bisa hidup sebagai daerah wisata rohani kelas dunia. Dengan kalkulasi minimal (misalnya) total peserta 1.000 orang per acara, atau 3.000-an peserta untuk total ketiga acara, maka matriks dasar akan memperoleh tiga pelancong dari setiap peserta, atau jadi 9.000 pengunjung. Maka, dengan dampak responsif runtunan pelancong rata-rata separuhnya saja (500 orang) per bulan pada masa berikutnya, tentu diperoleh pengunjung Wisman setidaknya 5.000 orang lagi (perhitungan 10 bulan saja dalam tahun itu). Itu berarti hampir 15.000 pelancong dari satu paket wisata rohani. Kalau bisa buat 10 paket per tahun…? 150.000 Wisman dari satu destinasi rohani sudah melampaui angka total kunjungan kumulatif destinasi umum.
Itu berarti, Sumut jadi objek wisata rohani kelas dunia, bukan mimpi…!
Ninuk Kleden, orang luar Sumut, sudah membuktikannya pada 1983 lalu, dan kemarin, Gubsu Syamsul Arifin mengungkapkan itu kembali di hadapan publik mancanegara: ada tanda-tanda surga di Sumut… (M9/d)